Pejuang Tionghwa



Pikiran RASIS tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan tak pernah belajar sejarah.
OLEH: BONNIE TRIYANA                                                                                                   
                                                                                                                                                                            



Ang Yan Goan masih ingat betul sesosok pemuda tegap necis berkopiah hitam yang pernah datang ke kantornya di redaksi koran Sin Po, di bilangan Asemka, Jakarta Pusat (dulu: Batavia). Pemuda itu selalu berkobar-kobar bila membicarakan cita-citanya untuk memerdekakan bangsanya. Yan Goan sangat terkesan dan secara sukarela membantu pemuda bersemangat itu untuk mencapai cita-citanya. Kelak, bertahun kemudian, pemuda bernama Sukarno itu dipilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Nukilan kisah tersebut tercatat di dalam memoar Ang Jan Goan, pemimpin redaksi dan kemudian direktur penerbitan koran Sin Po. Sebuah memoar yang banyak menceritakan tentang suka-duka hidup sebagai warga Tionghoa di Indonesia. Termasuk kisah duka saat harus meninggalkan Indonesia karena pergolakan politik 1965.
Sebagai pemimpin redaksi dari koran Sin Po, dialah yang memutuskan untuk kali pertama memuat syair lagu Indonesia Raya pada korannya. Pada saat itu, tak satu pun koran, yang milik pribumi sekalipun, berani memuat syair lagu karya WR. Supratman itu. Ia berani tanggung resiko korannya dibreidel oleh pemerintah kolonial dan tak pernah kapok diadili gara-gara tulisan di Sin Po yang melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Yan Goan juga pernah mengeritik orang Tionghoa di Indonesia karena mereka selalu mengeluh terhadap pemerintah negeri Tiongkok yang mereka anggap tak pernah berbuat apa-apa pada mereka. “Tetapi kenapa? Bukankah lebih baik mereka bertanya kepada diri sendiri: Kita sudah berbuat apa akan kewajiban kita sebagai orang Tionghoa terhadap bangsa dan Negara Indonesia?” kata Yan Goan.
Yan Goan memang anomali. Tapi dia tak sendiri. Ada banyak warga keturunan Tionghoa di masa lalu yang memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebut saja Mayor John Lie, seorang pelaut yang telah diangkat jadi pahlawan nasional karena jasanya selama perang kemerdekaan. Atau Auw Tjoei Lan, tokoh perempuan Tionghoa yang banyak membebaskan kaum hawa dari jerat perdagangan manusia (human trafficking).
Perkembangan kesusasteraan Indonesia pun tak lepas dari pengaruh kesusasteraan Melayu-Tionghoa. Ada ribuan karya sastra penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu yang berperan pada penyebarluasan cikal bakal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
Jelas bahwa orang Tionghoa punya peran di dalam republik ini. Tapi masih banyak cara pandang minor terhadap eksitensi warga Tionghoa di indonesia. Beberapa pekan lalu, pada jejaring sosial media twitter, beberapa selebtwit (selebritas twitter) yang punya ribuan follower mengeluarkan kicauan bernada rasis. Komentar rasis di semesta kicau itu seakan salah zaman, mundur ke belakang di mana pemerintah Belanda pernah menetapkan penggolongan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan ras: Eropa, Timur Jauh (termasuk Tionghoa dan Inlanders (pribumi).
Tapi baiklah, pikiran rasis memang tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan tak pernah belajar sejarah. Kendati sudah jelas-jelas bahwa bangunan kebangsaan republik ini berdiri di atas prinsip-prinsip nasionalisme modern yang mengabaikan soal suku, ras dan agama. Pemikiran bentuk nasionalisme modern yang dikemukakan oleh Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945 merupakan ramuan mujarab bagi bangsa Indonesia yang majemuk.
Dengan mengadopsi nasionalisme modern seyogianya setiap orang mengerti bahwa keberadaan setiap kelompok di sini diikat oleh kesamaan hasrat untuk hidup dan mencapai tujuan bersama. Bahasa Indonesia dan sejarah adalah tali pengikatnya, karena sesungguhnya Indonesia untuk semua anak bangsa.





Kiprah Pejuang Tionghoa
Angkat Senjata Bela RI, Warga Tionghoa Tak Tertulis di Buku Sejarah
Sudrajat,Arif Arianto - detikNews


                                                               


Foto: Istimewa-Majalah Detik
Jakarta - Kiprah para warga Tionghoa mengangkat senjata saat perang kemerdekaan Indonesia adalah nyata. Sayangnya, kisah mereka tak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah.

Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini memunculkan anggapan bahwa masyarakat dari etnis Tionghoa cuma berpangku tangan dan menjadi penonton pada era revolusi fisik.

Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan, kiprah masyarakat etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, banyak warga keturunan Tionghoa yang bahu-membahu bersama pejuang Indonesia melawan penjajah.

Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada awal kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, banyak anggota masyarakat keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar pemuda pejuang.

“Karena, sesaat setelah proklamasi, kita kan belum memiliki tentara. Jadi badan-badan perjuangan yang mempertahankan kemerdekaan itu ya laskar-laskar pemuda,” tutur Soejitno kepada Majalah Detik, yang menemui di kantornya, gedung Balai Sarbini, Jakarta.

Ketika pemerintah resmi membentuk tentara, seperti halnya anggota laskar yang lainnya, tidak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang memilih kembali menjadi masyarakat sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.

Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi tentara, Soejitno melanjutkan, juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka memiliki hak yang sama..
 



Kisah laksamana terkemuka di masa perjuangan.
JOHN LIE  Si Penyelundup yang Humanis
OLEH: MF. MUKTHI
SUATU hari di sekitar tahun 1921. Laksamana Muda John Lie tak akan pernah melupakannya. Sebuah kapal eskader Angkatan Laut Belanda berlabuh di Manado. Ukurannya besar dan canggih. Banyak penduduk ingin melihat dari dekat dan menaiki kapal itu dengan membayar 10 sen.
John Lie, yang masih berusia sekira 10 tahun, tak punya uang. Tak mau patah arang, ia bersama teman-temannya berenang menuju kapal. Berhasil. Di dekat kapal, ia berkata kepada teman-temannya, ”Nanti saya mau jadi kapten, suatu waktu akan pimpin kapal begini ini,” kenang Bian Loho sebagaimana disitir M. Nursam dalam Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie.
Lahir pada 9 Maret 1911, John Lie Tjeng Tjoan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie. Lie Kae Tae merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kae Tae) yang terkenal sebelum Perang Dunia II dan tutup sepeninggal Lie Kae Tae pada 1957. Kedelapan anaknya tak menuruni bakat dagangnya. John Lie sendiri sedari kecil lebih tertarik dunia maritim.
Meski mendapat pendidikan di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS), lalu Christelijke Lagere School, hasrat John Lie untuk jadi pelaut begitu kuat. Ia menabung uang hasil menagih piutang ayahnya. Ketika menginjak usia 17 tahun, ia meninggalkan Manado. “Kalo minta izin orangtua pasti nggak diberikan, karena terlalu muda,” ujar Rita Tuwasey, keponakan John Lie.
Di Batavia, ia bekerja sebagai buruh pelabuhan di sesela kesibukannya ikut kursus navigasi. Ia lalu jadi Klerk Muallim III di KPM (Koninklijk Paketvaart Mattschappij), perusahaan pelayaran Belanda. Setelah beberapa kali pindah kapal, ia bertugas di MV Tosari yang pada Februari 1942 membawanya ke Pangkalan AL Inggris Koramshar di Iran. Saat itu Perang Dunia II sedang berlangsung. MV Tosari dijadikan kapal logistik pendukung armada Sekutu. Awak MV Tosari diberi pelatihan militer.
Pada Agustus 1945 Perang Dunia II usai, tak lama kemudian Indonesia merdeka. Kabar itu membuat para pelaut yang “terdampar” di Koramshar ingin pulang. “Agar kami dapat berjuang, berbakti bersama kaum pejuang di Indonesia, untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman kami selama ini di medan kelautan,” tulis John Lie.
Keinginan itu terwujud pada Februari 1946. Kapal MV Ophir yang membawa mereka berlayar, lego jangkar di Bombay dan Kalcuta, lalu singgah di Singapura selama 10 hari. Di sini mereka meluangkan waktu untuk belajar penyapuan ranjau dan taktik pertempuran laut.
Setelah bekerja di pelabuhan dan memperdalam kelautan di Jakarta, John Lie bergabung dengan angkatan laut. Atas permintaannya, John Lie ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Dimulailah misi-misi menembus blokade Belanda dan penyelundupan yang membuat namanya melegenda.
John Lie memulai misi pertamanya menembus blokade Belanda dengan kapal ML 336. Kapal ini memuat senjata dan amunisi dengan tujuan Labuan Bilik, sebuah kota kecil di Sumatra Timur. Dalam perjalanan kapal ini dikejar kapal patroli dan kepergok pesawat patroli Belanda. Nyaris terjadi kontak senjata. Tapi pesawat patroli Belanda itu tak jadi menembak. Mungkin, menurut John Lie, bahan bakarnya menipis.
Di Labuhan Bilik, ML 366 didaftarkan ke Jawatan Pelayaran dan diberi nomor PPB 31 LB (Pendaftaran Pelabuhan 31 Labuhan Bilik). Seminggu berlabuh, kapal berlayar lagi ke Port Swettenham, Malaya. John Lie dan timnya lalu mendirikan Help Naval Base of The Republic of Indonesia di sana. Sejak itu, ia terus melakukan pelayaran penetrasi blokade Belanda. Ia sempat ditangkap di Singapura tapi pengadilan membebaskannya karena tak terbukti bersalah. Paling sedikit ada enam pelayaran penetrasi yang ia lakukan dengan PPB 31 LB. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan pelayaran John Lie. BBC menjuluki kapal John Lie sebagai “The Black Speed Boat”.
John Lie tak lama memimpin PPB 31 LB, hingga penghujung 1948. Sedari awal tugasnya memimpin kapal PPB 58 LB, yang oleh John Lie dinamai “The Outlaw”. Dengan kapal ini pun ia memimpin setidaknya 15 kali “pelayaran maut”. Namanya kemudian melegenda. Roy Rowan, wartawan majalah Life, mengabadikan kisah perjuangan heroik John Lie dalam “Guns – And Bibbles – Are Smuggled to Indonesia”, yang dimuat Life pada 26 Oktober 1949. Dan pers asing menjuluki John Lie “The Great Smuggler with the Bibble”.
Setelah mendapat tugas baru di Pos Hubungan Luar Negeri di Bangkok, memimpin KRI Rajawali dan Gadjah Mada, aktif menumpas gerakan separatis seperti DI/TII, RMS, dan Permesta, John Lie pensiun pada 1967. 
Ia mengisinya dengan kegiatan-kegiatan sosial: membagi-bagikan nasi bungkus kepada fakir miskin dan mengangkat anak-anak gelandangan –karena John tak punya anak. Ia juga perhatian kepada sahabat-sahabat seperjuangannya. Menurut Rita, dia menyurati satu per satu anggota Petisi 50 agar berdamai dengan Soeharto. Nasehat itu tak diindahkan tapi hubungan mereka tetap baik.
Pada 27 Agustus 1988, John Lie wafat. Banyak orang datang melayat, dari Presiden Soeharto hingga anak-anak gelandangan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro “mengakui” John Lie sebagai pahlawan nasional. Melalui suratnya tertanggal 10 November 1995, Wardiman mengucapkan selamat kepada keluarga John Lie atas penganugerahan gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama untuk (almarhum) John Lie. Tapi, penganugerahan John Lie sebagai pahlawan nasional baru terealisasi pada  peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2009.
“Dengan memasukkan John Lie sebagai pahlawan nasional, dengan mengabadikan karya dan perjuangannya, saya kira menghapus salah satu potensi kekerasan terhadap orang Tionghoa,” ujar Asvi Warman Adam..




Auw Tjoei Lan, Musuh Para Mucikari
Ancaman tak menggoyahkan seorang perempuan Tionghoa yang tinggal di Batavia untuk terus melawan perdagangan perempuan.
SUATU malam di Batavia pada 1930-an. Seorangperempuan Tionghoa, yang sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas menuju sebuah hotel di Kota. Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang perempuan tanpa identitas yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia menemukan sebuah tong yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia sekira 14 tahun; si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak mengerti bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur.
Dia langsung menolongnya, membawa gadis malang itu ke panti asuhannya. Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human trafficking).
Aktivisme semacam itu kerap dilakukan Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei Lan.
Auw Tjoei Lan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.
Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.
Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah.
Perdagangan perempuan sudah marak kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur. Mereka umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang ‘madat’ lebih susah daripada ‘dagang daging manusia’.”
Selain Ati Soetji, Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan "terlantar" dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat Islam.
“Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung. Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.”
Praktik ini sulit diberantas. Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Len memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.


Para Pejuang Suku Tioanghoa



John Lie (1911 – 1998)

Lie secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.


Liem Koen Hian(1897 - 1952)

Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia yang mendukung gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akhir 1930an ia aktif melakukan propaganda anti Jepang dan sempat ditahan selama masa pendudukan Jepang. BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)yang merumuskan UUD 1945 ,Liem adalah salah seorang anggotanya. Pada 1947, Liem ikut serta sebagai salah seorang anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.

Siauw Giok Tjhan(1914 - 1981)

Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan Siauw ialah Universitas Trisakti yang didirikan Baperki dengan nama Universitas Res Publika.Siauw menganut konsep integrasi, konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kimpoi campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia. Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar,yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida

Djiaw Kie Siong(?? - 1964)

Djiaw adalah pemilik rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi "Bapak Bangsa".Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.


Yap Thiam Hien (1913 – 1989)

adalah seorang pengacara. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia(Yap Thiam Hien Award). Yap tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela dan selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara(Ia mendapat julukan Singa Pengadilan). Yap seorang tokoh antikorupsi,Ia sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

…Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan keturunan tionghoa yang lain…

Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa.Juga, para pemimpin pergerakan dan perjuangan seperti Ir.Soekarno, Drs. Mah.Hatta, Soetan Sjahrir, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain, dalam percakapan sehari-hari dan dalam tulisan mereka, mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa. Ini secara de facto Tionghoa diakui turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, jadi istilah "Cina menjadi Tionghoa" merupakan suatu tanda penghargaan bagi suku Tionghoa di Indonesia.

ternyata jiwa nasionalisme terhadap bangsa ini juga ada di jiwa orang keturunan tionghua..hal ini akhirnya membukakan mata ane bahwa, suku, agama, dan ras bukan penghalang untuk memberikan kontribusi besar untuk bangsa ini.