Pikiran
RASIS tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang
ahistoris dan tak pernah belajar sejarah.
OLEH: BONNIE TRIYANA
Nukilan kisah tersebut tercatat di
dalam memoar Ang Jan Goan, pemimpin redaksi dan kemudian direktur penerbitan
koran Sin Po. Sebuah memoar
yang banyak menceritakan tentang suka-duka hidup sebagai warga Tionghoa di
Indonesia. Termasuk kisah duka saat harus meninggalkan Indonesia karena
pergolakan politik 1965.
Sebagai pemimpin redaksi dari koran Sin
Po, dialah yang memutuskan untuk kali pertama
memuat syair lagu Indonesia Raya pada korannya. Pada saat itu, tak satu
pun koran, yang milik pribumi
sekalipun, berani memuat syair lagu karya WR. Supratman itu. Ia berani tanggung
resiko korannya dibreidel oleh pemerintah kolonial dan tak pernah kapok diadili
gara-gara tulisan di Sin Po yang melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Yan Goan juga pernah mengeritik
orang Tionghoa di Indonesia karena mereka selalu mengeluh terhadap pemerintah
negeri Tiongkok yang mereka anggap tak pernah berbuat apa-apa pada mereka.
“Tetapi kenapa? Bukankah lebih baik mereka bertanya kepada diri sendiri: Kita
sudah berbuat apa akan kewajiban kita sebagai orang Tionghoa terhadap bangsa
dan Negara Indonesia?” kata Yan Goan.
Yan Goan memang anomali. Tapi dia
tak sendiri. Ada banyak warga keturunan Tionghoa di masa lalu yang memainkan
peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebut saja Mayor John Lie,
seorang pelaut yang telah diangkat jadi pahlawan nasional karena jasanya selama
perang kemerdekaan. Atau Auw
Tjoei Lan,
tokoh
perempuan Tionghoa yang banyak membebaskan kaum hawa
dari jerat perdagangan manusia (human trafficking).
Perkembangan kesusasteraan Indonesia
pun tak lepas dari pengaruh kesusasteraan Melayu-Tionghoa. Ada ribuan karya
sastra penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu yang berperan pada
penyebarluasan cikal bakal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa
Indonesia.
Jelas bahwa orang Tionghoa punya
peran di dalam republik ini. Tapi masih banyak cara pandang minor terhadap
eksitensi warga Tionghoa di indonesia. Beberapa pekan lalu, pada jejaring
sosial media twitter, beberapa selebtwit (selebritas twitter) yang punya
ribuan follower mengeluarkan kicauan bernada rasis. Komentar rasis di
semesta kicau itu seakan salah zaman, mundur ke belakang di mana pemerintah
Belanda pernah menetapkan penggolongan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan
ras: Eropa, Timur Jauh (termasuk Tionghoa dan Inlanders (pribumi).
Tapi baiklah, pikiran rasis memang
tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan
tak pernah belajar sejarah. Kendati sudah jelas-jelas bahwa bangunan kebangsaan
republik ini berdiri di atas prinsip-prinsip nasionalisme modern yang
mengabaikan soal suku, ras dan agama. Pemikiran bentuk nasionalisme modern yang
dikemukakan oleh Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945 merupakan ramuan mujarab bagi
bangsa Indonesia yang majemuk.
Dengan mengadopsi nasionalisme
modern seyogianya setiap orang mengerti bahwa keberadaan setiap kelompok di
sini diikat oleh kesamaan hasrat untuk hidup dan mencapai tujuan bersama.
Bahasa Indonesia dan sejarah adalah tali pengikatnya, karena sesungguhnya
Indonesia untuk semua anak bangsa.
Kiprah Pejuang Tionghoa
Angkat
Senjata Bela RI, Warga Tionghoa Tak Tertulis di Buku Sejarah
Sudrajat,Arif Arianto - detikNews
Foto: Istimewa-Majalah Detik
Jakarta - Kiprah para warga Tionghoa mengangkat senjata saat perang
kemerdekaan Indonesia adalah nyata. Sayangnya, kisah mereka tak pernah tertulis
dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini memunculkan anggapan bahwa masyarakat dari etnis Tionghoa cuma berpangku tangan dan menjadi penonton pada era revolusi fisik.
Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan, kiprah masyarakat etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, banyak warga keturunan Tionghoa yang bahu-membahu bersama pejuang Indonesia melawan penjajah.
Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada awal kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, banyak anggota masyarakat keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar pemuda pejuang.
“Karena, sesaat setelah proklamasi, kita kan belum memiliki tentara. Jadi badan-badan perjuangan yang mempertahankan kemerdekaan itu ya laskar-laskar pemuda,” tutur Soejitno kepada Majalah Detik, yang menemui di kantornya, gedung Balai Sarbini, Jakarta.
Ketika pemerintah resmi membentuk tentara, seperti halnya anggota laskar yang lainnya, tidak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang memilih kembali menjadi masyarakat sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.
Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi tentara, Soejitno melanjutkan, juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka memiliki hak yang sama..
Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini memunculkan anggapan bahwa masyarakat dari etnis Tionghoa cuma berpangku tangan dan menjadi penonton pada era revolusi fisik.
Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan, kiprah masyarakat etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, banyak warga keturunan Tionghoa yang bahu-membahu bersama pejuang Indonesia melawan penjajah.
Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada awal kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, banyak anggota masyarakat keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar pemuda pejuang.
“Karena, sesaat setelah proklamasi, kita kan belum memiliki tentara. Jadi badan-badan perjuangan yang mempertahankan kemerdekaan itu ya laskar-laskar pemuda,” tutur Soejitno kepada Majalah Detik, yang menemui di kantornya, gedung Balai Sarbini, Jakarta.
Ketika pemerintah resmi membentuk tentara, seperti halnya anggota laskar yang lainnya, tidak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang memilih kembali menjadi masyarakat sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.
Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi tentara, Soejitno melanjutkan, juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka memiliki hak yang sama..
Kisah
laksamana terkemuka di masa perjuangan.
JOHN LIE Si
Penyelundup yang Humanis
OLEH: MF. MUKTHI
John Lie, yang masih berusia sekira
10 tahun, tak punya uang. Tak mau patah arang, ia bersama teman-temannya
berenang menuju kapal. Berhasil. Di dekat kapal, ia berkata kepada
teman-temannya, ”Nanti saya mau jadi kapten, suatu waktu akan pimpin kapal
begini ini,” kenang Bian Loho sebagaimana disitir M. Nursam dalam Memenuhi
Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie.
Lahir pada 9 Maret 1911, John Lie
Tjeng Tjoan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Lie Kae Tae
dan Oei Tseng Nie. Lie Kae Tae merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol
(Veem en transportonderneming Lie Kae Tae) yang terkenal sebelum Perang
Dunia II dan tutup sepeninggal Lie Kae Tae pada 1957. Kedelapan anaknya tak
menuruni bakat dagangnya. John Lie sendiri sedari kecil lebih tertarik dunia
maritim.
Meski mendapat pendidikan di sekolah
berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS), lalu Christelijke Lagere
School, hasrat John Lie untuk jadi pelaut begitu kuat. Ia menabung uang hasil
menagih piutang ayahnya. Ketika menginjak usia 17 tahun, ia meninggalkan
Manado. “Kalo minta izin orangtua pasti nggak diberikan, karena terlalu
muda,” ujar Rita Tuwasey, keponakan John Lie.
Di Batavia, ia bekerja sebagai buruh
pelabuhan di sesela kesibukannya ikut kursus navigasi. Ia lalu jadi Klerk
Muallim III di KPM (Koninklijk Paketvaart Mattschappij), perusahaan pelayaran
Belanda. Setelah beberapa kali pindah kapal, ia bertugas di MV Tosari yang pada
Februari 1942 membawanya ke Pangkalan AL Inggris Koramshar di Iran. Saat itu
Perang Dunia II sedang berlangsung. MV Tosari dijadikan kapal logistik
pendukung armada Sekutu. Awak MV Tosari diberi pelatihan militer.
Pada Agustus 1945 Perang Dunia II
usai, tak lama kemudian Indonesia merdeka. Kabar itu membuat para pelaut yang
“terdampar” di Koramshar ingin pulang. “Agar kami dapat berjuang, berbakti
bersama kaum pejuang di Indonesia, untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman
kami selama ini di medan kelautan,” tulis John Lie.
Keinginan itu terwujud pada Februari
1946. Kapal MV Ophir yang membawa mereka berlayar, lego jangkar di Bombay dan
Kalcuta, lalu singgah di Singapura selama 10 hari. Di sini mereka meluangkan
waktu untuk belajar penyapuan ranjau dan taktik pertempuran laut.
Setelah bekerja di pelabuhan dan
memperdalam kelautan di Jakarta, John Lie bergabung dengan angkatan laut. Atas
permintaannya, John Lie ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Dimulailah misi-misi
menembus blokade Belanda dan penyelundupan yang membuat namanya melegenda.
John Lie memulai misi pertamanya
menembus blokade Belanda dengan kapal ML 336. Kapal ini memuat senjata dan
amunisi dengan tujuan Labuan Bilik, sebuah kota kecil di Sumatra Timur. Dalam perjalanan
kapal ini dikejar kapal patroli dan kepergok pesawat patroli Belanda. Nyaris
terjadi kontak senjata. Tapi pesawat patroli Belanda itu tak jadi menembak.
Mungkin, menurut John Lie, bahan bakarnya menipis.
Di Labuhan Bilik, ML 366 didaftarkan
ke Jawatan Pelayaran dan diberi nomor PPB 31 LB (Pendaftaran Pelabuhan 31
Labuhan Bilik). Seminggu berlabuh, kapal berlayar lagi ke Port Swettenham,
Malaya. John Lie dan timnya lalu mendirikan Help Naval Base of The Republic of
Indonesia di sana. Sejak itu, ia terus melakukan pelayaran penetrasi blokade
Belanda. Ia sempat ditangkap di Singapura tapi pengadilan membebaskannya karena
tak terbukti bersalah. Paling sedikit ada enam pelayaran penetrasi yang ia
lakukan dengan PPB 31 LB. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan
pelayaran John Lie. BBC menjuluki kapal John Lie sebagai “The Black
Speed Boat”.
John Lie tak lama memimpin PPB 31
LB, hingga penghujung 1948. Sedari awal tugasnya memimpin kapal PPB 58 LB, yang
oleh John Lie dinamai “The Outlaw”. Dengan kapal ini pun ia memimpin setidaknya
15 kali “pelayaran maut”. Namanya kemudian melegenda. Roy Rowan, wartawan
majalah Life, mengabadikan kisah perjuangan heroik John Lie dalam “Guns
– And Bibbles – Are Smuggled to Indonesia”, yang dimuat Life pada 26
Oktober 1949. Dan pers asing menjuluki John Lie “The Great Smuggler with the
Bibble”.
Setelah mendapat tugas baru di Pos
Hubungan Luar Negeri di Bangkok, memimpin KRI Rajawali dan Gadjah Mada, aktif
menumpas gerakan separatis seperti DI/TII, RMS, dan Permesta, John Lie pensiun
pada 1967.
Ia mengisinya dengan
kegiatan-kegiatan sosial: membagi-bagikan nasi bungkus kepada fakir miskin dan
mengangkat anak-anak gelandangan –karena John tak punya anak. Ia juga perhatian
kepada sahabat-sahabat seperjuangannya. Menurut Rita, dia menyurati satu per
satu anggota Petisi 50 agar berdamai dengan Soeharto. Nasehat itu tak
diindahkan tapi hubungan mereka tetap baik.
Pada 27 Agustus 1988, John Lie
wafat. Banyak orang datang melayat, dari Presiden Soeharto hingga anak-anak gelandangan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wardiman Djojonegoro “mengakui” John Lie sebagai pahlawan nasional. Melalui
suratnya tertanggal 10 November 1995, Wardiman mengucapkan selamat kepada
keluarga John Lie atas penganugerahan gelar pahlawan nasional dan tanda
kehormatan Bintang Mahaputera Utama untuk (almarhum) John Lie. Tapi,
penganugerahan John Lie sebagai pahlawan nasional baru terealisasi pada
peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2009.
“Dengan memasukkan John Lie sebagai
pahlawan nasional, dengan mengabadikan karya dan perjuangannya, saya kira
menghapus salah satu potensi kekerasan terhadap orang Tionghoa,” ujar Asvi
Warman Adam..
Liem Koen Hian(1897 - 1952)
Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia yang mendukung gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akhir 1930an ia aktif melakukan propaganda anti Jepang dan sempat ditahan selama masa pendudukan Jepang. BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)yang merumuskan UUD 1945 ,Liem adalah salah seorang anggotanya. Pada 1947, Liem ikut serta sebagai salah seorang anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.
Siauw Giok Tjhan(1914 - 1981)
Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan Siauw ialah Universitas Trisakti yang didirikan Baperki dengan nama Universitas Res Publika.Siauw menganut konsep integrasi, konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kimpoi campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia. Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar,yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida
Djiaw Kie Siong(?? - 1964)
Djiaw adalah pemilik rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi "Bapak Bangsa".Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.
Yap Thiam Hien (1913 – 1989)
adalah seorang pengacara. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia(Yap Thiam Hien Award). Yap tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela dan selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara(Ia mendapat julukan Singa Pengadilan). Yap seorang tokoh antikorupsi,Ia sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
…Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan keturunan tionghoa yang lain…
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa.Juga, para pemimpin pergerakan dan perjuangan seperti Ir.Soekarno, Drs. Mah.Hatta, Soetan Sjahrir, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain, dalam percakapan sehari-hari dan dalam tulisan mereka, mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa. Ini secara de facto Tionghoa diakui turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, jadi istilah "Cina menjadi Tionghoa" merupakan suatu tanda penghargaan bagi suku Tionghoa di Indonesia.
ternyata jiwa nasionalisme terhadap bangsa ini juga ada di jiwa orang keturunan tionghua..hal ini akhirnya membukakan mata ane bahwa, suku, agama, dan ras bukan penghalang untuk memberikan kontribusi besar untuk bangsa ini.
Auw Tjoei
Lan, Musuh Para Mucikari
Ancaman tak menggoyahkan seorang
perempuan Tionghoa yang tinggal di Batavia untuk terus melawan perdagangan
perempuan.

SUATU malam di Batavia pada 1930-an.
Seorangperempuan Tionghoa, yang sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas
menuju sebuah hotel di Kota. Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang
perempuan tanpa identitas yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia
menemukan sebuah tong yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia
sekira 14 tahun; si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak
mengerti bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur.
Dia langsung menolongnya, membawa
gadis malang itu ke panti asuhannya. Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat
banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human
trafficking).
Aktivisme semacam itu kerap
dilakukan Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia
lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah
seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan
pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan
amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan
makanan dan tempat tinggal. Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei
Lan.
Auw Tjoei Lan menekuni upaya
pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen,
anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah
mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak
biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan
lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas
gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut
mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya
seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung
perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan
yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di
rumah-rumah bordil.
Dia sangat berdedikasi. Dia tak
takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh
pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan
tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu
terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya
terancam.
Pernah suatu ketika seorang batauw
mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan
dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah
mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi.
Tapi dia tak goyah.
Perdagangan perempuan sudah marak
kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai
pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur. Mereka umumnya
didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan
Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika
terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan
perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di
Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab
saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng
Po, 8 Mei 1939. “Dagang ‘madat’ lebih susah daripada ‘dagang daging
manusia’.”
Selain Ati Soetji, Perikatan
Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan
Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut
bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus
bahasan. PPPI lalu membentuk Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean
dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi
perempuan "terlantar" dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi
lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen
Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga
terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya
Sarekat Islam.
“Isu tentang trafficking in
women and children merupakan entry point
bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora
Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Pada Februari 1937, Liga
Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi
perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung.
Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari
pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi
pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis
Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini
agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan
perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.”
Praktik ini sulit diberantas.
Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka
masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada
kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada
penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang
bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka
dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam
“Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung
Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa
henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak
media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Len
memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de
Orde van Oranje Nassau.
Para Pejuang Suku Tioanghoa
John Lie (1911 – 1998)
Lie secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Lie secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Liem Koen Hian(1897 - 1952)
Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia yang mendukung gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akhir 1930an ia aktif melakukan propaganda anti Jepang dan sempat ditahan selama masa pendudukan Jepang. BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)yang merumuskan UUD 1945 ,Liem adalah salah seorang anggotanya. Pada 1947, Liem ikut serta sebagai salah seorang anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.
Siauw Giok Tjhan(1914 - 1981)
Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan Siauw ialah Universitas Trisakti yang didirikan Baperki dengan nama Universitas Res Publika.Siauw menganut konsep integrasi, konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kimpoi campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia. Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar,yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida
Djiaw Kie Siong(?? - 1964)
Djiaw adalah pemilik rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi "Bapak Bangsa".Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.
Yap Thiam Hien (1913 – 1989)
adalah seorang pengacara. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia(Yap Thiam Hien Award). Yap tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela dan selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara(Ia mendapat julukan Singa Pengadilan). Yap seorang tokoh antikorupsi,Ia sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
…Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan keturunan tionghoa yang lain…
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa.Juga, para pemimpin pergerakan dan perjuangan seperti Ir.Soekarno, Drs. Mah.Hatta, Soetan Sjahrir, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain, dalam percakapan sehari-hari dan dalam tulisan mereka, mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa. Ini secara de facto Tionghoa diakui turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, jadi istilah "Cina menjadi Tionghoa" merupakan suatu tanda penghargaan bagi suku Tionghoa di Indonesia.
ternyata jiwa nasionalisme terhadap bangsa ini juga ada di jiwa orang keturunan tionghua..hal ini akhirnya membukakan mata ane bahwa, suku, agama, dan ras bukan penghalang untuk memberikan kontribusi besar untuk bangsa ini.